TUGAS FONOLOGI BAHASA INDONESIA
BUNYI SUPRASEGMENTAL
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fonologi Bahasa Indonesia
Oleh
Andi
Burka
Dosen
Pembimbing : Hastari Mayrita. M. Pd.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA
INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BINA DARMA PALEMBANG
2014/2015
BUNYI SUPRASEGMENTAL
Telah
menjelaskan di muka bahwa bunyi-bunyi bahasa ketika di ucapkan ada yang bisa
disegmen-segmenkan, diruas-ruaskan, atau di pisah-pisahkan, misalnya semua
bunyi vokoid dan kontoid. Bunyi-bunyi yang bisa di segmentasikan ini disebut bunyi segmental. Tetapi ada juga yang tidak bisa
disegmen-segmenkan karena kehadiran bunyi ini selalu mengiringi, menindih, atau
“menemani” bunyi segmental (bak vokoid maupun kontoid). Oleh karena itu
sifatnya yang demikian, bunyi itu yang disebut bunyi suprasegmental, alih-alih disebut nonsegmental.
Oleh
para fonetisi, bunyi-bunyi suprasegmental ini dikelompokkan menjadi empat jenis,
yaitu yang menyangkut aspek :
a) Tinggi-rendah
bunyi (nada),
b) Keras-lemah
bunyi (tekanan),
c) Panjang-pendek
bunyi (tempo),
d) Jeda
atau Persendian
1. Tinggi-Rendah
(Nada, Tona, Pitch)
Ketika bunyi segmental diucapkan selalu
melibatkan nada, baik nada tinggi, sedang, atau rendah. Hal ini disebabkan oleh
adanya faktor ketegangan pita suara, arus udara, dan posisi pita suara ketika
bunyi itu diucapkan. Makin tegang pita suara, yang disebabkan oleh kenaikan
arus udara dari paru-paru, makin tinggi pula nada bunyi tersebut. Begitu juga posisi
pita suara. Pita suara yang bergetar lebih cepat akan menentukan tinggi nada
suara.
Dalam bahasa-bahasa bernada atau bahasa
tonal, seperti bahasa Thai dan Vietnam, nada ini bersifat morfemis, dapat
membedakan makna.
Nada yang menyertai bunyi segmental di
dalam kalimat disebut intonasi. Dalam hal ini biasanya dibedakan adanya empat
macam nada, yaitu:
a. Nada
yang paling tinggi, diberi tanda dengan angka 4
b. Nada
tinggi, diberi tanda dengan angka 3
c. Nada
sedang atau biasa, diberi tanda dengan angka 2
d. Nada
rendah, diberi tanda angka 1
2. Keras-Lemah
(Tekanan, Aksea, Stress)
Ketika bunyi-bunyi segmental diucapkan
pun tidak pernah lepas dari keras atau lemahnya bunyi. Hal ini disebabkan oleh
keterlibatan energi otot ketika bunyi diucapkan. Suatu bunyi dikatakan mendapat
tekanan apabila energi otot yang dikeluarkan lebih besar ketika bunyi itu
diucapkan. Sebaliknya suatu bunyi dikatakan tidak mendapatkan tekanan apabila
energi otot yang dikeluarkan lebih kecilketika bunyi itu diucapkan.
Walaupun dalam praktiknya kerasnya bunyi
juga berpengaruh pada ketinggian bunyi, karena energi otot berpengaruh juga
pada ketegangan pita suara, kedua bunyi suprasegmental ini bisa dibedakan.
Buktinya tekanan keras dengan nada rendah pun bisa diucapkanoleh penutur
bahasa. Hal ini sangat bergantung pada fungsinya dalam komunikasi.
3. Panjang-Pendek
(Tempo)
Bunyi-bunyi segmental juga dapat
dibedakan dari panjang pendeknya ketika bunyi itu diucapkan. Bunyi panjang
untuk vokoid diberi tanda satuan mora,
yaitu satuan waktu pengucapan, dengan tanda titik. Tanda titiksatu [.]
menandakan satu mora, tanda titik dua [:] menandakan dua mora, dan tanda titik
tiga[:.] menandakan tiga mora. Sementara itu bunyi-bunyi untuk kontoid diberi
tanda rangkap, dengan .... geminat
4. Jeda
atau Persendian
Yang dimaksud dengan penghentian adalah
pemutusan suatu arus bunyi-bunyi
segmental ketika diujarkan oleh penutur. Sebagai akibatnya, akan terjadi
kesenyapan diantara bunyi-bunyi yang terputus itu. Kesenyapan ini bisa berada
di posisi awal, tengah, dan akhir ujaran.
Jeda berkenaan dengan hentian bunyi
dalam arus ujar. Disebut jeda karena adanya hentian itu. Jeda ini dapat
bersifat penuh dan dapat bersifat sementara. Biasanya dibedakan adanya sendi
dalam atau internal juncture dan sendi luar atau open juncture.
Sendi dalam menunjukkan batas antara
satu silabel dengan silabel yang lain. Sendi dalam ini, yang menjadi batas
silabel, biasanya diberi tanda tambah
(+).
Sendi luar menunjukkan batas yang lebih
besar dari segmen silabel. Dalam hal ini biasanya dibedakan :
a. Jeda
antarakata dalam frase diberi tanda berupa garis miring tunggal (/)
b. Jeda
antarfrase dalam klausa diberi tanda berupa garis miring ganda (//)
c. Jeda
antarkalimat dalam wacana diberi tanda berupa garis silang ganda (#)
DAFTAR PUSTAKA
Muslich, Masnur. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara.
Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.